Isnin, 21 Mac 2011

Isteri Berzina, Haruskah Dipertahankan?


Pertanyaan :

Jika seorang suami yang melakukan li'an maka status pernikahannya boleh dinyatakan batal. Lalu bagaimana dengan status isteri yang mengaku telah berzina, apakah dengan sendirinya pernikahannya juga batal?


Jawaban:

Mengenai status pernikahan pasangan suami isteri yang melakukan li'an, yaitu ketika suami menuduh isterinya berzina dengan lelaki lain, sementara tidak ada saksi lain, selain dirinya, maka dia harus menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim. Lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat. Setelah itu baru menyatakan, "Semoga Allah melaknat diri saya, jika saya berdusta." Seketika jatuhlah li'an tersebut.

1. Konsekuensi dari li'an ini, bagi pihak suami, dia tidak akan terkena had qadzaf (sanksi tuduhan berzina), yaitu disebat 80 kali, karena tidak dapat menghadirkan 4 saksi. Pada saat yang sama, pernikahannya pun dinyatakan batal (fasakh) untuk selama-lamanya sehingga dia tidak akan pernah boleh rujuk kembali kepada isterinya. Sementara itu, bagi pihak isteri, jika dia tidak mahu melakukan proses yang sama, sebagaimana yang telah dilakukan suaminya, yaitu menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim, lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat, setelah itu baru menyatakan, "Semoga Allah melaknat dirinya, jika dia berdusta," sehingga li'an tersebut jatuh, maka kalau isteri tersebut tidak mahu melakukan proses di atas, dia dianggap telah melakukan zina, dan berhak dikenai sanksi zina muhshan, yaitu direjam hingga mati. Sebaliknya, jika pihak isteri tersebut melakukan proses yang sama, maka dia boleh terbebas dari had zina. Setelah itu, status pernikahan mereka dinyatakan batal, dan harus dipisahkan oleh hakim dengan status fasakh, dengan konsekuensi tidak boleh kembali selama-lamanya. Inilah status pernikahan suami-isteri yang melakukan li'an.

2. Lalu bagaimana jika mereka tidak melakukan li'an, tetapi isterinya mengaku sendiri bahwa dia telah berzina, apakah pernikahan mereka juga batal? Keadaan ini berbeda dengan keadaan yang pertama. Dalam konteks ini, ada dua pendapat. Pertama: pendapat Mujahid, 'Atha', an-Nakha'i, at-Tsauri, asy-Syafi'i, Ishaq dan para fuqaha' Ahlu ar-Ra'yi dan kebanyak Ahli Ilmu, bahwa kalau isteri berzina, atau suaminya berzina, maka nikahnya tidak otomatis menjadi batal, baik sebelum maupun setelah mereka berhubungan badan.

3. Kedua: pendapat Jabir bin Abdillah bahwa kalau isteri tersebut telah berzina, maka suami-isteri ini harus dipisahkan, dan si isteri tidak berhak mendapatkan apapun. Juga pendapat dari al-Hasan dan Ali bin Abi Thalib, bahwa suami-isteri tersebut harus dipisahkan jika suaminya berzina sebelum berhubungan dengannya. Mereka beragumen, bahwa kalau suami tersebut menuduh isterinya berzina, dan me-li'an-nya saja, maka statusnya menjadi tertalak bai'n dari suaminya, karena status zina yang dinyatakan kepada isterinya, dengan begitu zina tersebut jelas boleh menyebabkan isterinya tertalak ba'in.

4. Namun, argumentasi ini disanggah oleh Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali, bahwa tuduhan zina kepada isteri tersebut tidak secara otomatis membuatnya tertalak ba'in. Andai dengan tuduhan zina tersebut pernikahannya secara otomatis batal, maka pernikahan tersebut juga secara otomatis batal, semata-mata karena adanya klaim, seperti saudara sepersusuan. Di samping itu, zina ini merupakan kemaksiatan yang tidak sampai mengeluarkannya dari Islam. Sebab, kalau salah satu dari suami-isteri tersebut murtad, maka pernikahan mereka otomatis batal. Demikian juga berbeda dengan li'an, karena li'an menyebabkan batalnya pernikahan dengan status fasakh, meski tidak benar-benar berzina. Buktinya, jika isteri tersebut juga melakukan proses li'an, maka proses tersebut boleh diterima, dan dia tidak ditetapkan berbuat zina. Nabi saw. juga tetap mewajibkan dijatuhkannya had qadzaf kepada orang yang menuduh perempuan tersebut berzina, termasuk suaminya, jika tidak bersedia melakukan proses li'an, sementara status fasakh-nya tetap jatuh.

5. Meski demikian, menurut Ibn Qudamah, Imam Ahmad lebih suka agar suami menceraikan isterinya, jika isterinya telah berzina. Saya tidak berpendapat, bahwa dia harus mempertahankan kondisi seperti ini. Sebab, ranjangnya tidak boleh dijamin dari kotoran, sementara getahnya akan ditimpakan kepadanya, sementara anak yang lahir dari isterinya itu bukan anaknya.

6. Dengan demikian, meski Imam Ahmad berpendapat, bahwa status suami-isteri tersebut tidak secara otomatis akan tertalak atau ter-fasakh, sebagaimana dalam kes li'an, tetapi jika isteri telah mengaku berzina dengan lelaki lain, maka sebaiknya suaminya menceraikannya agar dia terhindar dari penisbatan anak yang notabene bukan anaknya. Ibn Mundzir berkomentar, "Barangkali orang yang tidak menyukai wanita seperti ini—maksudnya yang telah berzina—tak lebih dari makruh, tidak sampai haram, sebagaimana pendapat Imam Ahmad ini."

7. Memang ada hadis yang menjelaskan:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرِىءٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ يُسْقِي مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

Tidaklah halal bagi seorang Mukmin yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menumpahkan air (mani)-nya kepada tanaman (buah hasil hubungan) orang lain (HR Ibn Qudamah dalam Al-Mughni).

Maksudnya, menyetubuhi isteri yang hamil dari hasil hubungan dengan lelaki lain. Namun, hadis ini tidak boleh dijadikan dalil, bahwa status pernikahan suami-isteri tersebut secara otomatis menjadi batal, karena isterinya telah berzina. Sebab, hadis ini hanya menjelaskan ketidakhalalan menyetubuhi isteri dalam keadaan hamil dari hasil hubungan dengan lelaki lain. Dengan kata lain, hadis ini hanya memerintahkan istibra' (pembersihan kandungan) sehingga status nasabnya tidak bercampur aduk antara suami wanita ini dengan lelaki lain. Karena itu, suami wanita ini boleh menceraikannya hingga bayi dari kandungan isterinya tersebut lahir, kalau dia hamil, atau kalau tidak hamil, boleh diceraikan hingga haid sekali atau tiga kali, kemudian boleh dirujuk kembali.

Namun, untuk rujuk kembali, para fukaha juga mensyaratkan, agar perempuan yang sebelumnya telah berzina ini bertobat terlebih dulu, baru boleh dinikahi kembali. Jika tidak, maka dia tidak layak dinikahi. Wallahu a'lam. [http://konsultasi.wordpress.com/]

Catatan kaki:

1 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nidzam al-Ijtima'i fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. IV, edisi Muktamadah, 1424 H/2003 M, hlm. 166-167.

2 Ibid, hlm. 167-168.

3 Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Yordania, t.t., II/1653.

4 Ibid. Mengenai status talaknya, apakah berstatus talak bai'n bainunah kubra, ataukah fasakh memang ada ikhtilaf. Menurut Imam Abu Hanifah, suami-istri yang melakukan li'an, statusnya tertalak bai'n bainuna kubra, karena itu masih boleh dinikahi kembali setelah terlebih dulu dinikahi lelaki lain dan disetubuhi, lalu diceraikan. Berbeda dengan Imam Ahmad, juga Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menurut beliau status talak suami-istri tersebut adalah fasakh, sehingga selamanya mereka tidak boleh menikah kembali.

5 Ibid.

6 Ibid.

7 Ibid.

Sumber : Majalah Al Waie edisi Agustus 2010

http://faridm.com/konsultasi/2010/08/istri-berzina-haruskah-dipertahankan/



Tiada ulasan: